(dimuat harian Singgalang, Kamis, 1 November 2012, halaman 2)
Tidak banyak yang tahu jika di Dusun Padang Jariang, Kenagarian
Kotohilalang, Kecamatan Ampek Angkek Canduang-Agam terdapat perajin
biola. Hasil karyanya juga sempat di bawa pemesan dan pembeli ke
beberapa propinsi bahkan sampai ke Pulau Kalimantan.
Jemari tangannya tidak selincah ketika dia masih relatif muda. Namun,
kepiawaiannya menggesek tongkat biola pada dawai, walau sedikit stelan
dawainya sumbang, masih tersisa dalam dirinya memainkan beberapa lagu
Minang. Itulah H.Fauzi Kari Mangiang (76), warga Dusun PadangJariang,
Kotohilalang Kab.Agam.
Warga lebih mengenal dia dengan sebutan Mak Kari Apau, karena selama
lebih dari 20 tahun Mak Kari menjadi Imam di salah satu Mesjid di Dusun
Lundang, dan 3 tahun terakhir Mak Kari juga diminta sebagai Imam di
Mesjid Jihad PadangJariang Kotohilalang.
Mak Kari mungkin satu-satunya yang di ketahui memiliki keterampilan
membuat biola di Kabupaten Agam, bahkan di Sumatera Barat. Kendati
secara teknis keterampilannya juga bersinggungan dengan segmen kerja
kerajinan. Bahkan di depan rumah Mak Kari sendiri berdiri sebuah usaha
perabot dan dan perkayuan yang dikelola anaknya sendiri.
Apalagi biola yang dibikinnya bukan menggunakan alat modern,
melainkan memakai alat pertukangan yang semuanya, menggunakan alat-alat
sederhana, seperti pahat,kapak,penokok,pisau dan pahat ukir.
Mak Kari Apau, mengaku tidak pernah belajar khusus membuat biola, ia
awalnya hanya menjiplak motif sebuah biola dengan kertas minyak yang
biasa digunakan untuk layang-layang.
Nalurinya seakan membimbingnya untuk membuat alat gesek serupa, sejak
umur 12 tahun Mak Kari telah menyukai alat musik tersebut, bahkan sejak
usia itu ia telah memainkan dawai alat musik yang badannya berpinggang
ramping dan ujung lehernya melengkung itu dilakukan secara otodidak.
“Karena saya pernah juga bekerja di perabot, saya yakin bisa membuat,
soal berbunyi atau tidak, sebelumnya saya juga tidak yakin” ujar Mak
Kari memulai kisahnya.
”Kadang juga lupa makan, karena asyik bermain biola” ujarnya setelah memainkan lagu Minang yang berjudul “cogok mancogok”.
Ia mengisahkan, dulunya ia bergabung dengan orkes Gambus Nizam di
Lundang dengan biola pinjaman. Biola pinjaman tersebut pun awalnya dari
biola rusak yang dia perbaiki, lama-kelamaan biola tersebut diminta lagi
oleh pemiliknya dan tidak boleh di pinjam lagi.
Kemudian ada orang yang menawarkan beberapa biola-biola rusak, dengan
bekal itu Mak Kari menciplak desainnya dan dengan modal sebagai tukang
perabot dia yakin pasti bisa membuat sendiri.
“Setelah selesai ternyata bisa berbunyi, tinggal hanya mencari nadanya”, ujar Mak Kari lagi.
Kemudian sejak itu dari mempermak dan memperbaiki biola rusak. Tahun
80-an Mak Kari selalu tampil memperkuat sebagai pemain biola dengan
orkes Gambus Fatuhul Club Baso.
Ayah dari 6 putra dan 4 putri dengan 30 orang cucu tersebut, tahun
2003 pergi menunaikan ibadah haji dan sejak itu pula, Mak Kari pensiun
juga sebagai pemain biola.
”Selain sudah jarang undangan untuk orkes gambus, mungkin karena masa
sekarang orang lebih cendung dengan orgen tunggal, juga faktor usia”,
tambah Mak Kari.
Yang diingatnya, sudah sekitar 50-biola yang dibuatnya, selain
mendapat pesanan, ada juga beberapa biola buatannya yang dibawa anak dan
ponakannya ke rantau orang.
“Apapun jenis dan judul lagu, saya bisa iringi dengan biola, asal ada
orang yang menyanyikannya, meski saya tidak tahu apa judulnya” imbuhnya
lagi.
Katanya, pernah ada sebuah operator travel wisata yang membawa
wisatawan singgah ke kediamannya dan diantaranya ada pemain biola.
Mereka memesan biola, yang dijual rata-rata Rp 1 juta sampai 1,5 juta.
Satu biola diselesaikan selama 15-20 hari.
Daya tarik karyanya, kecuali bentuknya yang tidak kalah dengan buatan
luar negeri, juga dikerjakan dengan tangan menggunakan peralatan
sederhana, seperti pahat,kapak,penokok,pisau dan pahat ukir, dan alat
lain yang dibuatnya sendiri.
Bahannya pun terdiri atas kayu lokal pilihan, berupa kayu surian, cempaka, dan kayu-kayu pilihan lainnya.
“Sekarang yang sedang dikerjakan dari bahan “ruyuang” (kayu dari
pohon aren) dan yang telah selesau dari kayu batang kelapa, yang dari
batang kelapa, suaranya cukup mantap”, Kata Mak Kari sambil menunjukkan
biola dari batang kelapa.
Semua kayu-kayu tersebut sebelumnya dipotong sesuai peruntukannya,
kayu-kayu itu dilem. Sedangkan pada tongkat penggesek biola dibikin dari
benang atau bahan-bahan alami seperti dari pandan, atau kulit tebu dan
lainnya.
Dulu, Mak Kari mengaku kerap kewalahan memenuhi pesanan, karena dia
tidak punya pegawai. Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir ini,
seiring dengan semakin sedikitnya kelompok musik gambus, sudah tidak ada
lagi yang datang untuk dibuatkan alat musik.
Kini hampir beberapa dekade sudah Mak Kari melayani pesanan biola.
Dia mengaku memang belum ada yang ”mempublikasikan”. Meski order sepi,
Mak Kari tetap sediakan bahan-bahan biar, kalau sewaktu-waktu ada
pesanan langsung bisa dikerjakan.
"Kadang memang masih ada yang datang, namun hanya untuk service biola
atau alat musik yang lain," ungkap Mak Kari sambil memainkan biola
mendendangkan Dinda Bestari...hati tenang melamun, oh dinda juwitaku...ingat beta riwayat yang dulu.. (**Indrawadi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar