Dipersiapkan untuk memperingati 111 tahun Bung
Hatta
(12 Agustus 1902 - 12 Agustus 2013)
Catatan: tulisan ini adalah
update dari tulisan yang ditulis, 14 Agustus 2007
(105 tahun Bung Hatta)
Enam bulan
sekali disemprot anti hama.
Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan sejumlah penerbit rajin mengirimkan
buku baru. Tapi tak semua pengunjung perpustakaan mau membacanya.
Bung Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1
gonang ( 25 sen ), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi
buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada
halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
Sampai
akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah.
“Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta,
putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaanya.”
Bagi Hatta, harta yang tiada taranya
adalah buku-bukunya. Tampaknya ilmu dan amal kebaikan jauh lebih dihargainya
dari pada harta. Harta akan habis dimakan waktu, sedangkan buku semakin di
kuras dan baca makin bertambahlah ilmu, karena ia melindungi pemiliknya,
sedangkan harta si pemiliknyalah yang melindungi.
“Bagi Bung Hatta buku adalah wahana
untuk mencerdaskan bangsa,” tutur Edi Swasono, menantu Hatta. Itulah, dulu
semasa masih sebagai wakil Presiden, dalam pidato-pidatonya sering di serukan:
“Timbalah ilmu dari buku.”
Hatta si manusia buku. Buku telah
menjadi bagian dari hidupnya. Bila kita telaah watak seseorang, termasuk Hatta,
turut dibentuk dari pertarungan pemikiran, gagasan, sikap, idiologi, jenis ke
ilmuan, jumlah dan mutu bacaan yang dibacanya secara kritis.
Hatta
dan buku, adalah dua kata yang tak terpisahkan dimensi ruang dan waktu. Ratusan
buku senantiasa menyertainya pada beragam keadaan dan berbagai tempat. Bahkan
buku-bukunya acap kali merepotkan orang. Bahkan ketika Hatta begitu kembali
dari Belanda, Hatta membawa 16 peti besi berisikan buku-buku, yang
masing-masing berukuran setengah meter kubik. Sesampainya Hatta di Indonesia,
di Tanjung Priok, seorang inspektur polisi yang bertugas memeriksa
barang-barang yang akan dimasukkan ke kabin, setelah di periksa, di dalam koper
Hatta hanya berisikan pakaian saja, Hatta menanyakan pada polisi itu kapan ia
akan memeriksa buku-bukunya yang 16 peti tersebut “Begitu banyak buku yang tuan bawa,” tanya
polisi tersebut, Hatta menjawab, “ya, tuan jangan lupa, aku sebelas tahun di
Negeri Belanda. Kapankah tuan-tuan dapat memeriksa buku-buku itu ?”. Terus di
putuskannya: “Apabila tuan tidak keberatan, tiga hari lagi”.
Bung
Hatta selama hidupnya memang amat mencintai buku, bahkan ada yang menulis bahwa
ada tiga istri Hatta, yang pertama buku, yang kedua buku dan yang ketiga adalah
Rahmi. Bahkan Basyariah Sanusi Galib, adik bungsu Hatta, punya kenangan tentang
hubungan kakaknya dan buku: “Buku itulah pacar dia”. Tetapi Hatta sebenarnya
bukanlah pacar yang pencemburu. Ia bahkan suka sekali menyumbangkan
buku-bukunya yang kebetulan jumlahnya lebih dari satu, meskipun kesetiannya
terhadap “pacarnya taklah diragukan, ketika dibuang ke Digul, dibawanya serta
16 peti buku.
Kegemaran
Hatta yang utama adalah membaca. Boleh dikatakan, ia tak dapat dipisahkan dari
bahan bacaan. Karena itu sangat menghargai buku. Buku-buku itu dipeliharanya
dengan baik. Di hari tuanya ia mempunyai perpustakaan pribadi. Jumlah buku
lebih dari 30.000 buah. Sebagian dari uang belanjanya di pakai untuk membeli
buku.
Sebuah
peristiwa terjadi Banda Naira. Waktu itu Hatta dan Syahrir masih tinggal
serumah. Syahrir mengambil beberapa anak Banda sebagai anak angkatnya. Suatu
kali, anak-anak itu bermain di meja kerja. Air yang ada di meja kerja itu
tumpah. Buku Hatta yang terletak di atas meja itu basah kena air. Buku itu
sedang di pinjam oleh Syahrir. Hatta marah kepada anak-anak itu. Syahrir agak
tersinggung, walaupun anak-anak itu dimarahinya pula.
Waktu
Hatta kawin dengan Rahmi, mas kawinnya ialah sebuah buku. Buku itu
berjudul Alam Pikiran Yunani, karangan Hatta sendiri. Waktu itu ibunya
merasa malu, karena masih mampu menyediakan mas kawin yang lebih mahal dan
berharga daripada sebuah buku. Waktu itu mas kawin ialah uang perak atau uang
ringgit yang terbuat dari emas. Tetapi Hatta tidak mau menuruti keinginan
ibunya. Ia tetap memberikan buku sebagai mas kawinnya.
Anak-anaknya diajarkan supaya mencintai buku. Sejak kecil
mereka sudah dibiasakan membaca, dengan memberikan buku yang sesuai dengan usia
mereka. Waktu Meutia merayakan ulang tahunnya yang ke-30, Hatta memberikan
hadiah sebuah buku yang berjudul History of Java, karangan Rafles,
terbitan 1817. Bukan pakaian atau perhiasan yang di hadiahkan melainkan sebuah
buku karangan orang yang pernah menjadi gubernur Jendral Inggris di Indonesia.
Demikian juga halnya dengan menyambut kelahiran cucu
pertamanya, Hatta juga menyediakan beberapa buah buku. Buku-buku itu
diberikannya pada Meutia dan dimintanya supaya disimpan baik-baik. Kelak bila
cucu itu sudah bisa membaca, barulah diberikan padanya. Buku-buku yang di
sediakan tersebut adalah buku cerita anak-anak. Ada pula sebuah kamus, yakni Kamus
Bahasa Indonesia karangan Purwadarminta.
Ilmuwan Yang
Aktif Menulis
Hatta telah
menulis berbagai artikel yang tersebar lewat surat kabar. Terutama sekali Hatta
menulis untuk majalah Hindia Poetra, dan antara lain juga ke surat kabar
Neratja dan surat kabar PNI-Baru, Daoelat Ra’jat. Karya-karya
Bung Hatta berupa buku juga sudah banyak yang meliputi berbagai bidang ilmu.
Jumlah buku karangan Bung Hatta ada kurang lebih 58 buku, dan diantara
buku-buku karangan Bung Hatta ini dipakai bagi calon-calon intelektual kita.
Antara lain: Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan; Alam Pikiran Yunani;
Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi; The Cooperative Movement in Indonesia;
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun.
Ada lagi buku Bung Hatta lainnya
yang berjudul Kumpulan Pidato, isinya adalah pidato-pidato Bung Hatta di
berbagai tempat. Buku-tersebut di terbitkan oleh penerbit Inti Idayu yang
berjumlah tiga jilid. Sedangkan pidato-pidato ilmiah Bung Hatta yang
disampaikan pada saat menerima gelar doctor honoris causa dari beberapa
Universitas dikumpulkan dan menjadi sebuah buku yang berjudul Membangun
Ekonomi Indonesia.
Dari
sejumlah besar buku Bung Hatta, ada sebagian buku yang punya riwayat yang cukup
panjang. Bagian buku tersebut ialah buku-buku yang dibawa Bung Hatta sejak
belajar di Belanda. Jumlah cukup banyak, ribuan jumlahnya. Buku-buku tersebut
terus dibawa oleh Bung Hatta ke mana saja beliau bermukim. Bahkan dalam
pengasingan beliau, buku-buku tersebut selalu dibawa dan menjadi saksi bisu
atas apa yang yang telah beliau alami selama di pengasingan.
Kini buku-buku beliau tersebut
terletak di perpustakaan pribadinya, yang terletak di lantai dua rumah Bung
Hatta Jl.Diponegoro 57. Bung Hatta telah mengumpulkan ribuan buku. Maka sejak
perpustakaan pribadi itu ada dan menempati tempat tetap, koleksi pribadi yang
dimiliki Bung Hatta merupakan koleksi perpustakaan yang terbesar di Indonesia,
bila dibandingkan dengan tokoh lain juga punya perpustakaan pribadi. Bung Hatta
amat telaten dan rajin sekali merawat buku-bukunya itu sehingga semua buku yang
ada tetap baik keadaannya, dan belum ada satu pun yang rusak sampai beliau
wafat.
Cara Bung
Hatta Membaca Buku
Dalam kegiatan sehari-hari, Bung
Hatta sudah punya jadwal yang tetap untuk membaca buku. Pagi hari beliau
menyediakan waktu kurang lebih satu jam khusus untuk membaca buku di
perpustakaan pribadinya. Sewaktu beliau menjabat Wakil Presiden, beliau membaca
selama satu jam sebelum berangkat ke kantor. Setelah mundur dari jabatan, Bung
Hatta kadang-kadang juga membaca sampai dua-tiga jam lamanya pada pagi hari
bila tidak ada kesibukan lain. Malam hari sudah dapat dipastikan pula, sebelum
tidur beliau membaca sekurang-kurangnya satu jam. Dan waktu Bung Hatta
mengajar, pada waktu tertentu disisihkan pula waktu pada malam hari untuk
mempersiapkan bahan-bahan kuliah.
Dari kebiasaan Bung Hatta membaca,
terlihat kecintaan beliau terhadap buku dan ilmu pengetahuan, kemana saja
beliau pergi selalu tidak ketinggalan buku di dalam tasnya. Pada waktu membaca,
pikiran beliau seluruhnya terkonsentrasi pada buku yang sedang dibacanya.
Beliau duduk tertib di mejanya, atau kadang-kadang membaca sambil berdiri di
depan rak bila hanya ingin membaca sepintas saja. Di sebelah buku yang
dibacanya selalu tersedia pensil, pena dan kertas kecil untuk catatan. Bung
Hatta selalu mencatat hal-hal baru yang di jumpainya di dalam buku. Karena
buku-buku beliau banyak yang berbahasa asing, mungkin itu pulalah Bung Hatta
menguasai beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Belanda, Inggris, Jerman
dan Perancis.
Mahasiswa
Bung Hatta dan Buku
Dalam tahun
1950-an, Bung Hatta mengajar di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sosial Politik
UGM, yang berkedudukan sebagai dosen luar biasa. Dalam masa-masa mengajar,
selama seminggu beliau berturut-turut setiap pagi beliau telah pergi mengajar.
Dan sudah menjadi kebiasaan beliau bila malam hari meluangkan waktu beberapa
jam untuk membaca buku dan mempersiapkan bahan-bahan yang kan di kuliahkan esok
harinya. Semua bahan kuliah disiapkan dalam bentuk catatan-catatan kecil. Mahasiswa umumnya sangat puas dan
senang dengan materi dan cara Bung Hatta menyampaikan kuliah. Kuliah-kuliah
dengan Bung Hatta tidak membosankan, selain karena gaya bahasanya menarik,
tetapi juga selalu ada materi baru yang di berikan Bung Hatta.
Pengalaman I.Wangsa Widjaja, adalah
ketika ada sebagian mahasiswa yang datang ke rumah Bung Hatta, biasanya mereka
mencari informasi tentang ujian semester. Mereka datang untuk menanyakan
kira-kira soal ujian atau rupa-rupa hal
yang berkaiatan dengan kuliah dari Bung Hatta. Sebenarnya para mahasiswa ingin
menemui Bung Hatta. Bahkan I.Wangsa ingat betul ada seseorang mahasiswa yang
datang menanyakan bahan-bahan yang akan di ujikan Bung Hatta, hal-hal yang
perlu di pelajari dan hal pokok yang menjadi pusat perhatian Bung Hatta. Lantas
I.Wangsa menjawab;”Pelajari saja dan baca baik-baik buku-buku yang telah di
tunjuk Bung Hatta. Saudara sendiri kan sudah tahu buku-buku apa itu. Bila
saudara baca dan dapat menguasai sebagian besar masalah yang dibahas di
dalamnya, maka kemungkinan besar saudara akan dapat menjawab soal-soal dari
Bung Hatta dengan baik.
Sebenarnya Bung Hatta mengetahui
persis perangai mahasiswanya itu. Akan tetapi tak berkomentar apapun dari Bung
Hatta, selain tersenyum dan mengingatkan I.Wangsa agar tetap mendorong
mahasiswa itu membaca banyak buku dan menguasai bacaan asing.
Bung Hatta selalu menampilkan sikap
yang simpatik terhadap mahasiswanya, hampir tak pernah beliau marah, semua
mahasiswa diperlakukan sama tanpa kecuali. Akan tetapi satu hal, siapa yang
melanggar disiplin waktu pasti akan kena marah, dan tentu saja ini hanya
berlaku bagi mahasiswa yang terlambat datang ketika beliau memberi kuliah.
Pendirian
Perpustakaan, Monumen Intelektual Bung Hatta
Kalau kita
menoleh sebentar ke Amerika Serikat umpanya, Disana keluarga Presiden yang
meninggal, bersama-sama dinas federal atau negara bagiannya mendirikan suatu
pusat koleksi yang mengenang almarhum. Dalam sebuah gedung dikumpulkan
buku-buku, surat menyurat, benda-benda kenangan dan lain-lainnya yang dianggap
penting untuk di simpan. Agaknya tidak terlalu dini mulai memikirkan dan
merencanakan semacam Pusat Koleksi Bung Hatta, dalam garis besarnya pusat
koleksi didirikan untuk mencapai paling sedikit tiga sasaran pokok,
mengamankan, menyusun secara sistimatis semua buku-buku serta naskah
koresponden Bung Hatta.
Hasrat untuk mendirikan sebuah
perpustakaan di Kota Bukittinggi sebenarnya telah dirintis oleh Bung Hatta,
sewaktu ia sebagai Wakil Presiden RI yang saat itu pernah berkedudukan di kota
perjuangan Bukittinggi. Di Istana Presiden waktu itu (kemudian diganti menjadi
Tri Arga, lalu kini Istana Bung Hatta -red) beliau telah memulai dengan sebuah
perpustakaan.
Sayang koleksinya akhirnya tak ketahuan rimbanya dengan
peristiwa-peristiwa perjuangan yang susul menyusul sesudah itu. Keinginan itu
mulai terwujud dengan kepempinan Walikota A.Kamal,S.H., dengan menghubungi
Lembaga Perpustakaan dari Departemen P&K, telah diperoleh kata sepakat.
Bahwa di kota Bukittinggi akan didirikan perpustakaan umum milik Kotamadya
dengan bimbingan dan sokongan dari Lembaga tersebut (Lembaga ini berubah nama
menjadi pusat Perpustakaan, Departemen P&K).
Semula perpustakaan tersebut akan dibangun di sebelah
Gedung Nasional, yang sekarang telah dirombak menjadi Gedung DPRD Kotamadia
Bukittinggi. Pimpinan lembaga A.S.Nasution dalam kunjungannya ke Bukittinggi
telah memberikan saran-saran beharga dan menjanjikan bantuan buku-buku.
Sekembali beliau di Jakarta tahun 1974, lembaga telah mengirim sejumlah 600
buku untuk mengisi lemari perpustakaan yang akan diwujudkan itu.
Namun karena gedung perpustakaan yang semula direncanakan
di sebelah Gedung Nasional lama mengalami pembongkaran, maka usaha-usaha
kelanjutan dari perpustakaan ini akhirnya praktis terhenti. Kunjungan mendadak
dari pejabat UNESCO yang hendak melihat per-pustakaan ini, oleh Sekda Drs.
Masri akhirnya ditunjukkan saja ke sebuah gedung yang dibangun waktu itu di
Atas Ngarai, yang sebenarnya diuntukkan untuk Gedung Pemuda. Tidak ada yang
menduga bahwa justru gedung itulah nantinya yang benar-benar menjadi gedung
perpustakaan sekarang ini. Barulah atas desakan pemuka masyarakat Bukittinggi,
pada bulan September 1975, Walikota Kamal mengingatkan kembali usaha ke arah
ini. Dengan mengundang pemuka masyarakat, sebuah formatur yang diketuai
Dr.Mochtar Naim dibentuk. Formatur inilah yang menyiapkan gagasan-gagasan
perpustakaan dan menyusun Dewan Pembina dan Panitia Peresmian.
Akhirnya
disepakati bahwa perpustakaan ini diberi nama seorang pemimpin bangsa, tokoh
proklamator yang kebetulan lahir di Kota Bukittinggi, sekaligus sebagai
kenang-kenangan dan pengingat jasa-jasa beliau yang tak ternilai. Ide ini mendapat
sambutan spontan dan positif dari yang bersangkutan dan Pak Hatta dalam surat
beliau kepada walikota antarlain menyarat kan bahwa pembiayaan perpustakaan ini
hendaknya ditanggung oleh pemerintah sendiri.
Perpustakaan Hatta dengan SK Walikota No.08/Wako-1976
tertanggal 11 Februari 1976 akhirnya secara yuridis disahkan berdirinya.
Pemerintah kotamadia kemudian juga meng angkat Dewan Pembina dan Panitia
Persiapan, disamping mengangkat Kepala Perpustakaan yang baru, Amir Syakieb
Arsylan, yang sebelumnya telah dikirim ke Yogyakarta untuk dididik selama enam
bulan. Pada tanggal 12 Agustus 1976 yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke
74 Bung Hatta. Perpustakaan ini diresmikan dan dibuka kuncinya oleh Bung Hatta
sendiri, dengan juga diikuti oleh anggota-anggota keluarga beliau. Bagi
pemerintah dan masyarakat Kota Bukittinggi serta pemerintah dan masyarakat
Sumbar maupun Indonesia umumnya, barulah ini yang dapat diwujudkan sebagai
pengenang jasa-jasa beliau, tapi ini pula yang akan kita bina dan kita pupuk
dalam meneruskan cita-cita perjuangan beliau. Karena antara buku dan beliau dan
cita-cita untuk memajukan bangsa sudah tak terpisahkan lagi.
111 Tahun
Bung Hatta
Seandainya Mohammad Hatta masih hidup hari ini,
saya tak tahu apa yang akan di katakannya tentang korupsi saat ini. Tokoh yang
lahir 111 tahun lalu adalah seorang dengan integritas yang amat tinggi. Dia
jujur, anti korupsi, hemat, santun dan hidup serba pas-pasan, intergritas
beliau itulah yang dijadikan sebagai kata-kata cara baik Bung Hatta yang menghiasi
berbagai spanduk dan stiker.
Betapa indahnya kata-kata
di stiker dan spanduk tersebut yang membawa nama Bung Hatta, apakah dari
perguruan tinggi, lembaga-lembaga, kepanitiaan dan seterusnya. Apabila orang
yang membuat stiker atau spanduk tersebut memang meneladani cara Baik Bung
Hatta, tentu mereka akan mengenal lebih jauh Bung Hatta dengan kesantunannya,
kejujuran dan hemat, namun Bung Hatta juga tekun, teguh pendirian, sangat
membela kepentingan rakyat.
Tak terbayangkan
sikap-sikap seperti ini ada pada pejabat-pejabat pemerintah sekarang ini, baik
di zaman orde baru maupun zaman orde reformasi ini. Seperti yang pernah di
tuliskan di majalah Tempo edisi khusus beberapa waktu lalu: “Tak lama
setelah mundur dari pemerintahan di tahun 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya
hidup sebagai orang biasa. Ia kesulitan membayar listrik, air, gas dan juga
pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah”. Yang menggenaskan ia
mengirim surat kepada Dirjen Pos, Telegraf dan Telepon: “Terserahlah kalau
telepon mau di cabut”.
Sulit juga dibayangkan
sikap-sikap itu ada pada pejabat kita saat ini. Hatta bagi sebagian pejabat
mungkin “bukan sebuah contoh yang baik”. Karena mengikuti cara Bung Hatta
berarti menutup kemungkinan menggunakan kekuasaan sebagai alat akumulasi
kapital, artinya mengikuti keteladanan Hatta akan membawa para pejabat pada
kejujuran dan kesederhanan yang artinya hidup pas-pasan, sedihnya inilah
sesuatu yang dihindari saat ini.
Dengan kasat mata, kita
merasakan sepertinya di negeri ini sikap kejujuran dan kesederhanaan sepertinya jadi sesuatu yang salah. Sikap ini
justru dihukum dengan pendapat yang rendah atau perlindungan hukum yang tidak
pasti. Tapi sebaliknya mereka yang mencuri dan korupsi di puji, ataupun yang
sampai ke pengadilan justru dilindungi dengan berbagai bahasa hukum yang kerap
melecehkan realita dan otak kita. Karena Bung Hatta sepertinya seseorang
pengecualian.
Dengan kasat mata kita saksikan sebagian perilaku mereka
yang menyebut-nyebut kesederhanaan Bung Hatta sangat bertolak belakang sosok
Bung Hatta. Tindakan-tindakan yang mendustai dan mengelabui rakyat, membodohi,
menjual atas nama rakyat, justru mengeruk keuntungan dari rakyat untuk
kepentingan pribadi, dan lebih ironisnya lagi bila sampai menjual-jual nama
Bung Hatta demi keuntungan pribadi.
Kalau kita lihat masa
sekarang, betapa ironisnya, sosok seperti Bung Hatta yang menjabat sebagai
wakil presiden tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan
pribadinya, sebagai orang nomor dua di negara ini zaman itu, tentu cukup banyak
fasilitas negara dan kemudahan yang didapatnya. Tapi kenyataannya, sejarah
mencatat Bung Hatta tetap hidup sederhana dari uang pensiunan. Saya masih ingat
ketika gebyar 100 tahun Bung Hatta, sebuah spanduk yang terpajang di gerbang
pintu masuk Kota Bukittingi tertulis kata-kata: “Bung Hatta tidak meninggalkan
kekayaan dan tetap miskin sampai akhir hayatnya”. Tapi sampai hari ini, betapa
enaknya sebagian pejabat yang melibas fasilitas negara dan milik negara untuk
dirinya, bahkan anak istrinya yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas
kenegaraan, mereka seakan tak pernah berdosa melakukan korupsi sekalipun. Bung
Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini.
Barangkali ini untuk mengungkapkan rasa jengkelnya.
Seandainya Hatta masih hidup, saat ini kita tidak
tahu bagaimana ia bicara tentang korupsi di negeri ini, mungkin Hatta setiap
hari akan menulis di koran sebagai pelampiasan kekesalannya.
Kita sekarang ini hanya menghargai jasadnya,
menghiasi kuburanya, diberi bertajuk gonjong. Tetapi kita tak mampu menghargai
apalagi melanjutkan pikiran-pikiran Bung Hatta yang sehari-hari berpenampilan
sederhana, namun pikiran-pikirannya mampu membangkitkan minat sumberdaya.
Akan tetapi setelah dia wafat, semua orang berlomba mengambil manfaat.
Padang, 14 Agustus 2007
Indrawadi,S.Pi
Karyawan Universitas Bung Hatta
Sumber Bacaan
Sumber Bacaan
1.
Amrin Imran, Mohammad Hatta, Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa,
Mutiara Jakarta, 1981.
2. I.Wangsa Widjaja, Mengenang Bung Hatta, Gunung
Agung, Jakarta, 2002
3. Muhammad Irfan, Cara Baik Terhadap Buku Hatta,”Manusia
Pustaka”, Mimbar Minang, 12 Agustus 2002.
4. Muhammad Chatib Basri, Hatta, Korupsi, dan Peran
Negara, Koran Tempo Edisi Khusus, 100 tahun Bung Hatta, Agustus 2002.
--------------,
Mohammad Hatta, Memoir, Reprint Yayasan Hatta, 2002.
--------------,
Bung Hatta Kita Dalam Pandangan Masyarakat, Yayasan Idayu, 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar