Jumat, 03 Mei 2013

Bung Hatta, “Si Manusia Buku” Yang Tak Punya Buku Deposito

Bung Hatta, “Si Manusia Buku” Yang Tak Punya Buku Deposito
Dipersiapkan untuk memperingati 111 tahun Bung Hatta
(12 Agustus 1902 -  12 Agustus 2013)

Catatan: tulisan ini adalah update dari tulisan yang ditulis, 14 Agustus 2007 (105 tahun Bung Hatta)

           
Enam bulan sekali disemprot anti hama. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan sejumlah penerbit rajin mengirimkan buku baru. Tapi tak semua pengunjung perpustakaan mau membacanya.
            Bung Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gonang ( 25 sen ), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
            Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah. “Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta, putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaanya.”

             
            Bagi Hatta, harta yang tiada taranya adalah buku-bukunya. Tampaknya ilmu dan amal kebaikan jauh lebih dihargainya dari pada harta. Harta akan habis dimakan waktu, sedangkan buku semakin di kuras dan baca makin bertambahlah ilmu, karena ia melindungi pemiliknya, sedangkan harta si pemiliknyalah yang melindungi.
            “Bagi Bung Hatta buku adalah wahana untuk mencerdaskan bangsa,” tutur Edi Swasono, menantu Hatta. Itulah, dulu semasa masih sebagai wakil Presiden, dalam pidato-pidatonya sering di serukan: “Timbalah ilmu dari buku.”
            Hatta si manusia buku. Buku telah menjadi bagian dari hidupnya. Bila kita telaah watak seseorang, termasuk Hatta, turut dibentuk dari pertarungan pemikiran, gagasan, sikap, idiologi, jenis ke ilmuan, jumlah dan mutu bacaan yang dibacanya secara kritis.
Hatta dan buku, adalah dua kata yang tak terpisahkan dimensi ruang dan waktu. Ratusan buku senantiasa menyertainya pada beragam keadaan dan berbagai tempat. Bahkan buku-bukunya acap kali merepotkan orang. Bahkan ketika Hatta begitu kembali dari Belanda, Hatta membawa 16 peti besi berisikan buku-buku, yang masing-masing berukuran setengah meter kubik. Sesampainya Hatta di Indonesia, di Tanjung Priok, seorang inspektur polisi yang bertugas memeriksa barang-barang yang akan dimasukkan ke kabin, setelah di periksa, di dalam koper Hatta hanya berisikan pakaian saja, Hatta menanyakan pada polisi itu kapan ia akan memeriksa buku-bukunya yang 16 peti tersebut  “Begitu banyak buku yang tuan bawa,” tanya polisi tersebut, Hatta menjawab, “ya, tuan jangan lupa, aku sebelas tahun di Negeri Belanda. Kapankah tuan-tuan dapat memeriksa buku-buku itu ?”. Terus di putuskannya: “Apabila tuan tidak keberatan, tiga hari lagi”.

Bung Hatta selama hidupnya memang amat mencintai buku, bahkan ada yang menulis bahwa ada tiga istri Hatta, yang pertama buku, yang kedua buku dan yang ketiga adalah Rahmi. Bahkan Basyariah Sanusi Galib, adik bungsu Hatta, punya kenangan tentang hubungan kakaknya dan buku: “Buku itulah pacar dia”. Tetapi Hatta sebenarnya bukanlah pacar yang pencemburu. Ia bahkan suka sekali menyumbangkan buku-bukunya yang kebetulan jumlahnya lebih dari satu, meskipun kesetiannya terhadap “pacarnya taklah diragukan, ketika dibuang ke Digul, dibawanya serta 16 peti buku.

Kegemaran Hatta yang utama adalah membaca. Boleh dikatakan, ia tak dapat dipisahkan dari bahan bacaan. Karena itu sangat menghargai buku. Buku-buku itu dipeliharanya dengan baik. Di hari tuanya ia mempunyai perpustakaan pribadi. Jumlah buku lebih dari 30.000 buah. Sebagian dari uang belanjanya di pakai untuk membeli buku.

Sebuah peristiwa terjadi Banda Naira. Waktu itu Hatta dan Syahrir masih tinggal serumah. Syahrir mengambil beberapa anak Banda sebagai anak angkatnya. Suatu kali, anak-anak itu bermain di meja kerja. Air yang ada di meja kerja itu tumpah. Buku Hatta yang terletak di atas meja itu basah kena air. Buku itu sedang di pinjam oleh Syahrir. Hatta marah kepada anak-anak itu. Syahrir agak tersinggung, walaupun anak-anak itu dimarahinya pula.

Waktu Hatta kawin dengan Rahmi, mas kawinnya ialah sebuah buku. Buku itu berjudul Alam Pikiran Yunani, karangan Hatta sendiri. Waktu itu ibunya merasa malu, karena masih mampu menyediakan mas kawin yang lebih mahal dan berharga daripada sebuah buku. Waktu itu mas kawin ialah uang perak atau uang ringgit yang terbuat dari emas. Tetapi Hatta tidak mau menuruti keinginan ibunya. Ia tetap memberikan buku sebagai mas kawinnya.

Anak-anaknya diajarkan supaya mencintai buku. Sejak kecil mereka sudah dibiasakan membaca, dengan memberikan buku yang sesuai dengan usia mereka. Waktu Meutia merayakan ulang tahunnya yang ke-30, Hatta memberikan hadiah sebuah buku yang berjudul History of Java, karangan Rafles, terbitan 1817. Bukan pakaian atau perhiasan yang di hadiahkan melainkan sebuah buku karangan orang yang pernah menjadi gubernur Jendral Inggris di Indonesia.

Demikian juga halnya dengan menyambut kelahiran cucu pertamanya, Hatta juga menyediakan beberapa buah buku. Buku-buku itu diberikannya pada Meutia dan dimintanya supaya disimpan baik-baik. Kelak bila cucu itu sudah bisa membaca, barulah diberikan padanya. Buku-buku yang di sediakan tersebut adalah buku cerita anak-anak. Ada pula sebuah kamus, yakni Kamus Bahasa Indonesia karangan Purwadarminta.

Ilmuwan Yang Aktif Menulis
            Hatta telah menulis berbagai artikel yang tersebar lewat surat kabar. Terutama sekali Hatta menulis untuk majalah Hindia Poetra, dan antara lain juga ke surat kabar Neratja dan surat kabar PNI-Baru, Daoelat Ra’jat. Karya-karya Bung Hatta berupa buku juga sudah banyak yang meliputi berbagai bidang ilmu. Jumlah buku karangan Bung Hatta ada kurang lebih 58 buku, dan diantara buku-buku karangan Bung Hatta ini dipakai bagi calon-calon intelektual kita. Antara lain: Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan; Alam Pikiran Yunani; Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi; The Cooperative Movement in Indonesia; Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun.

            Ada lagi buku Bung Hatta lainnya yang berjudul Kumpulan Pidato, isinya adalah pidato-pidato Bung Hatta di berbagai tempat. Buku-tersebut di terbitkan oleh penerbit Inti Idayu yang berjumlah tiga jilid. Sedangkan pidato-pidato ilmiah Bung Hatta yang disampaikan pada saat menerima gelar doctor honoris causa dari beberapa Universitas dikumpulkan dan menjadi sebuah buku yang berjudul Membangun Ekonomi Indonesia.

            Dari sejumlah besar buku Bung Hatta, ada sebagian buku yang punya riwayat yang cukup panjang. Bagian buku tersebut ialah buku-buku yang dibawa Bung Hatta sejak belajar di Belanda. Jumlah cukup banyak, ribuan jumlahnya. Buku-buku tersebut terus dibawa oleh Bung Hatta ke mana saja beliau bermukim. Bahkan dalam pengasingan beliau, buku-buku tersebut selalu dibawa dan menjadi saksi bisu atas apa yang yang telah beliau alami selama di pengasingan.

            Kini buku-buku beliau tersebut terletak di perpustakaan pribadinya, yang terletak di lantai dua rumah Bung Hatta Jl.Diponegoro 57. Bung Hatta telah mengumpulkan ribuan buku. Maka sejak perpustakaan pribadi itu ada dan menempati tempat tetap, koleksi pribadi yang dimiliki Bung Hatta merupakan koleksi perpustakaan yang terbesar di Indonesia, bila dibandingkan dengan tokoh lain juga punya perpustakaan pribadi. Bung Hatta amat telaten dan rajin sekali merawat buku-bukunya itu sehingga semua buku yang ada tetap baik keadaannya, dan belum ada satu pun yang rusak sampai beliau wafat.

Cara Bung Hatta Membaca Buku
            Dalam kegiatan sehari-hari, Bung Hatta sudah punya jadwal yang tetap untuk membaca buku. Pagi hari beliau menyediakan waktu kurang lebih satu jam khusus untuk membaca buku di perpustakaan pribadinya. Sewaktu beliau menjabat Wakil Presiden, beliau membaca selama satu jam sebelum berangkat ke kantor. Setelah mundur dari jabatan, Bung Hatta kadang-kadang juga membaca sampai dua-tiga jam lamanya pada pagi hari bila tidak ada kesibukan lain. Malam hari sudah dapat dipastikan pula, sebelum tidur beliau membaca sekurang-kurangnya satu jam. Dan waktu Bung Hatta mengajar, pada waktu tertentu disisihkan pula waktu pada malam hari untuk mempersiapkan bahan-bahan kuliah.

            Dari kebiasaan Bung Hatta membaca, terlihat kecintaan beliau terhadap buku dan ilmu pengetahuan, kemana saja beliau pergi selalu tidak ketinggalan buku di dalam tasnya. Pada waktu membaca, pikiran beliau seluruhnya terkonsentrasi pada buku yang sedang dibacanya. Beliau duduk tertib di mejanya, atau kadang-kadang membaca sambil berdiri di depan rak bila hanya ingin membaca sepintas saja. Di sebelah buku yang dibacanya selalu tersedia pensil, pena dan kertas kecil untuk catatan. Bung Hatta selalu mencatat hal-hal baru yang di jumpainya di dalam buku. Karena buku-buku beliau banyak yang berbahasa asing, mungkin itu pulalah Bung Hatta menguasai beberapa bahasa asing, antara lain bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis.

Mahasiswa Bung Hatta dan Buku
            Dalam tahun 1950-an, Bung Hatta mengajar di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sosial Politik UGM, yang berkedudukan sebagai dosen luar biasa. Dalam masa-masa mengajar, selama seminggu beliau berturut-turut setiap pagi beliau telah pergi mengajar. Dan sudah menjadi kebiasaan beliau bila malam hari meluangkan waktu beberapa jam untuk membaca buku dan mempersiapkan bahan-bahan yang kan di kuliahkan esok harinya. Semua bahan kuliah disiapkan dalam bentuk catatan-catatan kecil.           Mahasiswa umumnya sangat puas dan senang dengan materi dan cara Bung Hatta menyampaikan kuliah. Kuliah-kuliah dengan Bung Hatta tidak membosankan, selain karena gaya bahasanya menarik, tetapi juga selalu ada materi baru yang di berikan Bung Hatta.

            Pengalaman I.Wangsa Widjaja, adalah ketika ada sebagian mahasiswa yang datang ke rumah Bung Hatta, biasanya mereka mencari informasi tentang ujian semester. Mereka datang untuk menanyakan kira-kira soal ujian  atau rupa-rupa hal yang berkaiatan dengan kuliah dari Bung Hatta. Sebenarnya para mahasiswa ingin menemui Bung Hatta. Bahkan I.Wangsa ingat betul ada seseorang mahasiswa yang datang menanyakan bahan-bahan yang akan di ujikan Bung Hatta, hal-hal yang perlu di pelajari dan hal pokok yang menjadi pusat perhatian Bung Hatta. Lantas I.Wangsa menjawab;”Pelajari saja dan baca baik-baik buku-buku yang telah di tunjuk Bung Hatta. Saudara sendiri kan sudah tahu buku-buku apa itu. Bila saudara baca dan dapat menguasai sebagian besar masalah yang dibahas di dalamnya, maka kemungkinan besar saudara akan dapat menjawab soal-soal dari Bung Hatta dengan baik.

            Sebenarnya Bung Hatta mengetahui persis perangai mahasiswanya itu. Akan tetapi tak berkomentar apapun dari Bung Hatta, selain tersenyum dan mengingatkan I.Wangsa agar tetap mendorong mahasiswa itu membaca banyak buku dan menguasai bacaan asing. 

            Bung Hatta selalu menampilkan sikap yang simpatik terhadap mahasiswanya, hampir tak pernah beliau marah, semua mahasiswa diperlakukan sama tanpa kecuali. Akan tetapi satu hal, siapa yang melanggar disiplin waktu pasti akan kena marah, dan tentu saja ini hanya berlaku bagi mahasiswa yang terlambat datang ketika beliau memberi kuliah.

Pendirian Perpustakaan, Monumen Intelektual Bung Hatta

            Kalau kita menoleh sebentar ke Amerika Serikat umpanya, Disana keluarga Presiden yang meninggal, bersama-sama dinas federal atau negara bagiannya mendirikan suatu pusat koleksi yang mengenang almarhum. Dalam sebuah gedung dikumpulkan buku-buku, surat menyurat, benda-benda kenangan dan lain-lainnya yang dianggap penting untuk di simpan. Agaknya tidak terlalu dini mulai memikirkan dan merencanakan semacam Pusat Koleksi Bung Hatta, dalam garis besarnya pusat koleksi didirikan untuk mencapai paling sedikit tiga sasaran pokok, mengamankan, menyusun secara sistimatis semua buku-buku serta naskah koresponden Bung Hatta.

            Hasrat untuk mendirikan sebuah perpustakaan di Kota Bukittinggi sebenarnya telah dirintis oleh Bung Hatta, sewaktu ia sebagai Wakil Presiden RI yang saat itu pernah berkedudukan di kota perjuangan Bukittinggi. Di Istana Presiden waktu itu (kemudian diganti menjadi Tri Arga, lalu kini Istana Bung Hatta -red) beliau telah memulai dengan sebuah perpustakaan. 

Sayang koleksinya akhirnya tak ketahuan rimbanya dengan peristiwa-peristiwa perjuangan yang susul menyusul sesudah itu. Keinginan itu mulai terwujud dengan kepempinan Walikota A.Kamal,S.H., dengan menghubungi Lembaga Perpustakaan dari Departemen P&K, telah diperoleh kata sepakat. Bahwa di kota Bukittinggi akan didirikan perpustakaan umum milik Kotamadya dengan bimbingan dan sokongan dari Lembaga tersebut (Lembaga ini berubah nama menjadi pusat Perpustakaan, Departemen P&K).

Semula perpustakaan tersebut akan dibangun di sebelah Gedung Nasional, yang sekarang telah dirombak menjadi Gedung DPRD Kotamadia Bukittinggi. Pimpinan lembaga A.S.Nasution dalam kunjungannya ke Bukittinggi telah memberikan saran-saran beharga dan menjanjikan bantuan buku-buku. Sekembali beliau di Jakarta tahun 1974, lembaga telah mengirim sejumlah 600 buku untuk mengisi lemari perpustakaan yang akan diwujudkan itu.

Namun karena gedung perpustakaan yang semula direncanakan di sebelah Gedung Nasional lama mengalami pembongkaran, maka usaha-usaha kelanjutan dari perpustakaan ini akhirnya praktis terhenti. Kunjungan mendadak dari pejabat UNESCO yang hendak melihat per-pustakaan ini, oleh Sekda Drs. Masri akhirnya ditunjukkan saja ke sebuah gedung yang dibangun waktu itu di Atas Ngarai, yang sebenarnya diuntukkan untuk Gedung Pemuda. Tidak ada yang menduga bahwa justru gedung itulah nantinya yang benar-benar menjadi gedung perpustakaan sekarang ini. Barulah atas desakan pemuka masyarakat Bukittinggi, pada bulan September 1975, Walikota Kamal mengingatkan kembali usaha ke arah ini. Dengan mengundang pemuka masyarakat, sebuah formatur yang diketuai Dr.Mochtar Naim dibentuk. Formatur inilah yang menyiapkan gagasan-gagasan perpustakaan dan menyusun Dewan Pembina dan Panitia Peresmian. 

Akhirnya disepakati bahwa perpustakaan ini diberi nama seorang pemimpin bangsa, tokoh proklamator yang kebetulan lahir di Kota Bukittinggi, sekaligus sebagai kenang-kenangan dan pengingat jasa-jasa beliau yang tak ternilai. Ide ini mendapat sambutan spontan dan positif dari yang bersangkutan dan Pak Hatta dalam surat beliau kepada walikota antarlain menyarat kan bahwa pembiayaan perpustakaan ini hendaknya ditanggung oleh pemerintah sendiri.

Perpustakaan Hatta dengan SK Walikota No.08/Wako-1976 tertanggal 11 Februari 1976 akhirnya secara yuridis disahkan berdirinya. Pemerintah kotamadia kemudian juga meng angkat Dewan Pembina dan Panitia Persiapan, disamping mengangkat Kepala Perpustakaan yang baru, Amir Syakieb Arsylan, yang sebelumnya telah dikirim ke Yogyakarta untuk dididik selama enam bulan. Pada tanggal 12 Agustus 1976 yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke 74 Bung Hatta. Perpustakaan ini diresmikan dan dibuka kuncinya oleh Bung Hatta sendiri, dengan juga diikuti oleh anggota-anggota keluarga beliau. Bagi pemerintah dan masyarakat Kota Bukittinggi serta pemerintah dan masyarakat Sumbar maupun Indonesia umumnya, barulah ini yang dapat diwujudkan sebagai pengenang jasa-jasa beliau, tapi ini pula yang akan kita bina dan kita pupuk dalam meneruskan cita-cita perjuangan beliau. Karena antara buku dan beliau dan cita-cita untuk memajukan bangsa sudah tak terpisahkan lagi.

111 Tahun Bung Hatta
Seandainya Mohammad Hatta masih hidup hari ini, saya tak tahu apa yang akan di katakannya tentang korupsi saat ini. Tokoh yang lahir 111 tahun lalu adalah seorang dengan integritas yang amat tinggi. Dia jujur, anti korupsi, hemat, santun dan hidup serba pas-pasan, intergritas beliau itulah yang dijadikan sebagai kata-kata cara baik Bung Hatta yang menghiasi berbagai spanduk dan stiker.
            Betapa indahnya kata-kata di stiker dan spanduk tersebut yang membawa nama Bung Hatta, apakah dari perguruan tinggi, lembaga-lembaga, kepanitiaan dan seterusnya. Apabila orang yang membuat stiker atau spanduk tersebut memang meneladani cara Baik Bung Hatta, tentu mereka akan mengenal lebih jauh Bung Hatta dengan kesantunannya, kejujuran dan hemat, namun Bung Hatta juga tekun, teguh pendirian, sangat membela kepentingan rakyat.
            Tak terbayangkan sikap-sikap seperti ini ada pada pejabat-pejabat pemerintah sekarang ini, baik di zaman orde baru maupun zaman orde reformasi ini. Seperti yang pernah di tuliskan di majalah Tempo edisi khusus beberapa waktu lalu: “Tak lama setelah mundur dari pemerintahan di tahun 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya hidup sebagai orang biasa. Ia kesulitan membayar listrik, air, gas dan juga pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah”. Yang menggenaskan ia mengirim surat kepada Dirjen Pos, Telegraf dan Telepon: “Terserahlah kalau telepon mau di cabut”.
            Sulit juga dibayangkan sikap-sikap itu ada pada pejabat kita saat ini. Hatta bagi sebagian pejabat mungkin “bukan sebuah contoh yang baik”. Karena mengikuti cara Bung Hatta berarti menutup kemungkinan menggunakan kekuasaan sebagai alat akumulasi kapital, artinya mengikuti keteladanan Hatta akan membawa para pejabat pada kejujuran dan kesederhanan yang artinya hidup pas-pasan, sedihnya inilah sesuatu yang dihindari saat ini.
            Dengan kasat mata, kita merasakan sepertinya di negeri ini sikap kejujuran dan kesederhanaan  sepertinya jadi sesuatu yang salah. Sikap ini justru dihukum dengan pendapat yang rendah atau perlindungan hukum yang tidak pasti. Tapi sebaliknya mereka yang mencuri dan korupsi di puji, ataupun yang sampai ke pengadilan justru dilindungi dengan berbagai bahasa hukum yang kerap melecehkan realita dan otak kita. Karena Bung Hatta sepertinya seseorang pengecualian.
            Dengan kasat  mata kita saksikan sebagian perilaku mereka yang menyebut-nyebut kesederhanaan Bung Hatta sangat bertolak belakang sosok Bung Hatta. Tindakan-tindakan yang mendustai dan mengelabui rakyat, membodohi, menjual atas nama rakyat, justru mengeruk keuntungan dari rakyat untuk kepentingan pribadi, dan lebih ironisnya lagi bila sampai menjual-jual nama Bung Hatta demi keuntungan pribadi.
            Kalau kita lihat masa sekarang, betapa ironisnya, sosok seperti Bung Hatta yang menjabat sebagai wakil presiden tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya, sebagai orang nomor dua di negara ini zaman itu, tentu cukup banyak fasilitas negara dan kemudahan yang didapatnya. Tapi kenyataannya, sejarah mencatat Bung Hatta tetap hidup sederhana dari uang pensiunan. Saya masih ingat ketika gebyar 100 tahun Bung Hatta, sebuah spanduk yang terpajang di gerbang pintu masuk Kota Bukittingi tertulis kata-kata: “Bung Hatta tidak meninggalkan kekayaan dan tetap miskin sampai akhir hayatnya”. Tapi sampai hari ini, betapa enaknya sebagian pejabat yang melibas fasilitas negara dan milik negara untuk dirinya, bahkan anak istrinya yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas kenegaraan, mereka seakan tak pernah berdosa melakukan korupsi sekalipun. Bung Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini. Barangkali ini untuk mengungkapkan rasa jengkelnya.
Seandainya Hatta masih hidup, saat ini kita tidak tahu bagaimana ia bicara tentang korupsi di negeri ini, mungkin Hatta setiap hari akan menulis di koran sebagai pelampiasan kekesalannya.
             Kita sekarang ini hanya menghargai jasadnya, menghiasi kuburanya, diberi bertajuk gonjong. Tetapi kita tak mampu menghargai apalagi melanjutkan pikiran-pikiran Bung Hatta yang sehari-hari berpenampilan sederhana, namun pikiran-pikirannya mampu membangkitkan minat sumberdaya.
Akan tetapi setelah dia wafat, semua orang berlomba mengambil manfaat.

Padang, 14 Agustus 2007
Indrawadi,S.Pi
Karyawan Universitas Bung Hatta
Sumber Bacaan

1. Amrin Imran, Mohammad Hatta, Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa, Mutiara Jakarta, 1981.

2.  I.Wangsa Widjaja, Mengenang Bung Hatta, Gunung Agung, Jakarta, 2002

3. Muhammad Irfan, Cara Baik Terhadap Buku Hatta,”Manusia Pustaka”, Mimbar Minang, 12 Agustus 2002.

4. Muhammad Chatib Basri, Hatta, Korupsi, dan Peran Negara, Koran Tempo Edisi Khusus, 100 tahun Bung Hatta, Agustus 2002.

--------------, Mohammad Hatta, Memoir, Reprint Yayasan Hatta, 2002.

--------------, Bung Hatta Kita Dalam Pandangan Masyarakat, Yayasan Idayu, 1980.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar